Pringsewu, PortalNasional – Meningkatnya kasus penarikan paksa kendaraan oleh debt collector merupakan fenomena yang semakin sering terjadi, dengan berbagai dinamika yang menjadi penyebabnya.
Salah satunya kejadian yang yang dialami oleh “SL” seorang warga Kabupaten Tanggamus, provinsi Lampung, pada kamis, 28/08/2025.
Berdasarkan informasi yang ada, diketahui bahwa SL, yang pada hari tersebut sedang menggunakan kendaraan pribadi bersama keluarganya,
Pada saat SL dan keluarga sedang berada di pusat perbelanjaan di Kabupaten Pringsewu, kendaraan pribadi milik SL dihentikan oleh sebuah mobil yang ditumpangi oleh lima orang debt collector, yang kemudian mengambil kunci dan menguasai kemudi kendaraan secara paksa dari SL.
Berdasarkan informasi yang ada, SL menyatakan ketidaktahuannya mengenai tindakan penggadaian Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) miliknya yang dilakukan oleh kerabat dekatnya, yakni SH, tanpa adanya persetujuan dari pihak SL.
Dalam keterangannya di media, SL juga mengatakan bahwa BPKB mobil miliknya telah digadai oleh SH demi mendapatkan uang sejak 2022 lalu.
Dikarenakan cicilan gadai itu menunggak hingga 6 bulan, debt collector akhirnya bertindak untuk mengambil paksa aset mobil tersebut hingga terjadi ketegangan.
Saat SL meminta debt collector untuk berdiskusi seputar hal ini, mereka justru menolak sampai membuat dirinya ketakutan dan terpaksa mengikuti kemauan debt collector tersebut.
Akibat dari kejadian tersebut, SL akhirnya melaporkan peristiwa ini ke pihak berwajib.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah, apakah memungkinkan bagi pihak lain untuk menggadaikan aset Anda tanpa persetujuan diri Anda?
Penggadaian BPKB tanpa persetujuan dapat berpotensi mengakibatkan sanksi pidana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Fidusia: Dalam Pasal 1 nomor 5
“Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.”
Kemudian, Pasal 1 nomor 9 menjelaskan:
“Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau karena undang- undang.
Dari penjelasan tersebut, sangat jelas bahwa pemberi fidusia (yang menjaminkan suatu benda ke lembaga pembiayaan atau leasing) haruslah pemilik dari benda tersebut.
Jika perjanjian ini dilakukan oleh pihak yang bukan merupakan pemilik benda yang dijadikan jaminan, maka perjanjian itu sebetulnya bisa dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subjektif diakibatkan karena adanya tipu muslihat.
Hal ini bisa dihubungkan dengan ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1321 jo.
Akan tetapi, hal ini perlu dibuktikan dalam suatu proses persidangan pidana karena melanggar ketentuan Pasal 378 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan. Adapun pasal 378 KUHP berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
Selain melanggar ketentuan pasal 378 KUHP atas penipuan, pelaku juga bisa dianggap melanggar ketentuan Pasal 35 Undang- Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Fidusia.
Berikut bunyi Pasal 35 Undang- Undang Nomor 49 Tahun 1999:
“Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” (Gun)