ARTIKELOPINIPENDIDIKAN & KESEHATAN

RUU TNI 2025: Polemik, Kontroversi, dan Kekhawatiran Kembalinya Militerisme dalam Pemerintahan Sipil

149
×

RUU TNI 2025: Polemik, Kontroversi, dan Kekhawatiran Kembalinya Militerisme dalam Pemerintahan Sipil

Sebarkan artikel ini

A. PENDAHULUAN

Sejarah hubungan antara sipil dan militer di Indonesia kerap menyimpan dan dipenuhi dengan dinamika yang kompleks, khususnya sejak era reformasi yang kerap menekankan pentingnya supermasi sipil atas militer. Supremasi sipil adalah landasan utama dalam sistem demokrasi yang menjamin bahwa otoritas tertinggi berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih melalui proses demokratis. Prinsip ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan hubungan antara pemerintah dan militer, guna menghindari keterlibatan militer secara dominan dalam penentuan kebijakan strategis negara.

Disisi lain, pada awal tahun 2025, Indonesia kembali menghadapi polemik besar seputar revisi UU TNI. Pada tanggal 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, atau yang kini dikenal dengan nama UU TNI 2025. Pada prosesnya, pengesahan ini terjadi dalam konteks politik yang berat, pembahasan yang berlangsung begitu cepat serta melibatkan hanya beberapa pihak. Tentunya, banyak kritik yang mencuat terkait kurangnya partisipasi publik dan transparansi dalam proses legislasi Rancangan Undang-Undang tersebut sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa pengesahan tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Revisi undang-undang ini di dasari atas harapan dan kebutuhan untuk menyesuaikan peran dan fungsi militer Indonesia agar menjadi lebih tangguh dalam menghadapi tantangan seperti, geopolitik internasional dan ancaman siber. Namun, pada prosesnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dianggap tertutup yang kemudian memunculkan protes keras dari para aktivis dan masyarakat sipil. Timbulnya kekhawatiran masyarakat akan kembalinya praktik Dwifungsi ABRI yang berpotensi mengancam demokrasi, meritokrasi, dan supremasi sipil di Indonesia. RUU TNI seharusnya menjadi momen yang tepat untuk memperjelas, bukan mengaburkan peran militer dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu, dialog dengan masyarakat sipil perlu dibuka kembali. Menjamin keterbukaan dalam pelaksanaan undang-undang merupakan langkah penting untuk mencegah persoalan di kemudian hari. Dalam konteks inilah essay ini akan mengkaji secara kritis polemik, kontroversi, dan kekhawatiran yang muncul seiring pengesahan UU TNI 2025, serta implikasinya terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.

 

B. PEMBAHASAN

Secara teoritis, militerisme merupakan paham, ideologi atau praktik yang menjadikan militer dan nilai- nilai militer sebagai pusat dalam tata kelola negara dan kehidupan sosial. Alfred Vagts, seorang sejarawan militer menyatakan bahwa militerisme bukan hanya sekadar dominasi dalam pemerintahan, tetapi juga mencakup penyebaran pola pikir, norma, serta budaya militer ke dalam ranah sipil. Hal ini dapat menyebabkan subordinasi politik sipil berada di bawah kendali militer, keputusan dan kebijakan negara ditentukan oleh institusi militer, bukan oleh lembaga sipil yang demokratis.

Sejak awal pembentukan pemerintahan Indonesia, militer memiliki peran penting dan signifikan dalam mengarahkan perjuangan bangsa. Hal ini menjadikan militer sangat mencolok selama masa revolusi (1945-1949) dan oleh karenanya era ini dikenal dengan adanya sistem dualisme kepemimpinan antara institusi militer dan otoritas politik. Pada awal masa Orde Baru, terjadi perubahan yang signifikan terkait hak politik militer dalam UU Nomor 15 Tahun 1969. Pasal 11 menyatakan bahwa ABRI tidak lagi diperkenankan menggunakan hak pilih. Hal ini menandakan bahwa angota ABRI tidak memiliki hak politik untuk memberikan suara. Namun, atas gagasan yang diajukan oleh Nasution, kedudukan militer pada masa Orde Baru kembali menguat. Eksistensi dan kendali militer kepada hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana TNI dan Polri menjadi satu kesatuan membentuk ABRI, yang kemudian menduduki posisi-posisi strategis dalam kabinet pembangunan.

Eksistensi militer sebagai pilar keamanan terbukti efektif dalam menjaga stabilitas keamanan negara, namun tidak terlepas dari polemik serta dampak negatif terhadap hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Ketidakstabilan sosial yang timbul sebagai akibat dari polarisasi politik yang diciptakan oleh dominasi militer serta pelanggaran hak asasi manusia yang menciptakan trauma tersendiri pada masyarakat masih terasa hingga saat ini. Pasca-runtuhnya rezim Orde Baru (1998), reformasi TNI menjadi prioritas paling utama pemerintah, salah satunya yaitu penghapusan doktrin Dwifungsi ABRI. Dibentuknya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI secara resmi menggantikan UU Nomor 2 Tahun 1998 tentang Prajurit ABRI.

Keberadaan UU TNI 2025 menggantikan UU Nomor 34 Tahun 2004 menimbulkan perlawanan publik sejak pembahasan mengenai rancangan undang-undang tersebut dinilai dilakukan secara tertutup serta minimnya partisipasi publik. Pembahasan tersebut dilakukan di Hotel Fairmont, Jakarta pada 14 sampai 15 Maret 2025 tanpa keterlibatan masyarakat sipil. Hal ini dianggap bertolak belakang dengan prinsip keterbukaan yang merupakan salah satu dasar dalam suatu proses pembentukan undang-undang yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Selain itu, rapat pembahasan yang dilaksanakan di luar gedung DPR juga dinilai tidak tepat ditengah kebijakan efisiensi anggaran.

Pada revisi UU TNI terdapat perubahan pada beberapa pasal, salah satunya yang menjadi perhatian utama dimana dinyatakan bahwa anggota TNI aktif diperbolehkan untuk menjabat di 14 kementerian atau lembaga yang sebelumnya tidak boleh kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun. Adapun perubahan pada batas usia pensiun, di mana bintara dan tamtama dapat pensiun paling tinggi pada usia 55 tahun; perwira hingga pangkat kolonel pada usia 58 tahun; perwira tinggi bintang 1 pada usia 60 tahun; perwira tinggi bintang 2 paling tinggi pada usia 61 tahun; dan perwira tinggi bintang 3 pada usia 62 tahun. Selain itu, terdapat juga perubahan dalam tugas pokok TNI yang mencakup bantuan dalam menanggulangi ancaman siber.

Perubahan terhadap UU TNI memiliki dampak signifikan terhadap prinsip-prinsip fundamental dalam konstitusi Indonesia, khususnya yang tercantum dalam UUD 1945 yang menegaskan pentingnya supremasi sipil. Indonesia merupakan negara kesatuan yang berdasar pada hukum, sehingga seluruh kekuasaan negara wajib dijalankan dalam koridor negara hukum. Karena itu, pelibatan militer secara langsung dalam urusan sipil berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip utama negara hukum. Timbulnya kontroversi dan kekhawatiran serius di kalangan masyarakat, mahasiswa, akademisi, dan berbagai organisasi-organisasi akan pengesahan RUU TNI ini ditunjukkan dengan adanya sejumlah aksi di berbagai kota serta mencuatnya hastag #TolakRUUTNI dan #KembalikanTNIkeBarak menyatukan kelompok masyarakat sipil yang prodemokrasi melalui media sosial. Meskipun dalam konteks tujuan pembentukan RUU ini adalah agar militer Indonesia adaptif terhadap tantangan baru, namun terdapat beberapa isu kontroversial dan poin krusial yang perlu menjadi perhatian. Penempatan prajurit TNI yang masih aktif ke dalam jabatan sipil memunculkan kekhawatiran akan kembalinya suatu praktik Dwifungsi ABRI serta kemungkinan akan terjadinya ambiguitas batas kewenangan antara sektor militer dan sipil. Komnas HAM mengkritik minimnya partisipasi publik pada proses pembahasan RUU dinilai tidak sejalan dengan prinsip pembuatan undang-undang secara demokratis. Dari segi aspek ekonomi, penempatan prajurit TNI yang masih aktif dalam jabatan sipil dapat menciptakan timbulnya persaingan dengan Aparatur Sipil Negara dan pegawai BUMN, dimana hal ini berpotensi mengurangi peluang karir bagi masyarakat sipil. Selain itu, adapun kekhawatiran bahwa hal ini dapat mempengaruhi efisiensi birokrasi dan iklim investasi di Indonesia. Apabila TNI turut serta dalam proses pengambilan keputusan, para investor kemungkinan besar akan mengamati apakah hal tersebut berpotensi menimbulkan praktik korupsi atau konflik kepentingan. Oleh karena itu, kejelasan regulasi mengenai sejauh mana peran TNI di ranah sipil sangat penting untuk menjaga kepercayaan investor. Keterlibatan TNI dalam lembaga seperti Badan Siber dan Sandi Negara atau Dewan Pertahanan Nasional dapat memperkuat keamanan infrastruktur penting, yang menjadi aset strategis bagi para investor. Sebagai contoh, perlindungan terhadap ancaman siber di sektor perbankan dapat meningkatkan kepercayaan pasar. Namun, di sisi lain, dominasi militer dalam lembaga-lembaga sipil berpotensi menimbulkan suatu ‘otoritarian’ yang dapat mengaburkan prinsip transparansi dan persaingan usaha yang sehat.

Perpanjangan usia pensiun juga tentunya mengharuskankan pemerintah menyiapkan anggaran tambahan untuk membayar gaji dan tunjangan prajurit yang lebih senior. Keterlibatan dan integritas militer dalam urusan sipil serta kebijakan fiskal yang mendukungnya perlu disertai dengan mekanisme check and balances. Apabila peningkatan pengeluaran ini tidak dibarengi dengan pemanfaatan maksimal peran TNI dalam mendukung produktivitas nasional maka kebijakan tersebut berisiko menjadi beban fiskal yang kurang sepadan bagi APBN.

Selain itu, meluasnya peran militer dalam lembaga sipil berpotensi mengurangi independensi sipil dalam pengambilan keputusan. Hal ini memicu turunnya tingkat akuntabilitas dan transparansi pemerintahan dikarenakan keputusan yang sudah seharusnya didasarkan pada pertimbangan demokratis dapat berisiko dipengaruhi oleh kepentingan militer. Akibatnya, efektivitas dan kredibilitas pemerintahan sipil dalam melaksanakan amanat konstitusi juga dapat terancam.

 

C. KESIMPULAN

Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) 2025 yang telah disahkan pada Maret 2025 menandai babak baru dalam dinamika hubungan sipil militer di Indonesia. Kritik utama terhadap revisi UU TNI 2025 adalah kurangnya transparansi dalam proses pembahasan dan pengesahan, serta minimnya partisipasi publik. Proses legislasi yang tertutup, di mana rapat pembahasan dilakukan di luar gedung DPR dan tanpa keterlibatan masyarakat sipil, dipandang tidak selaras dengan prinsip good governance. Komnas HAM dan sejumlah organisasi prodemokrasi menilai bahwa proses tersebut telah mengabaikan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas, sehingga berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari. Perubahan ini dianggap sebagai perluasan peran militer ke sektor sipil yang berpotensi mengaburkan garis demarkasi antara tugas pertahanan dan urusan pemerintahan sipil. Penambahan usia pensiun prajurit juga menjadi poin penting, yang berdampak pada peningkatan beban anggaran negara untuk tunjangan dan gaji personel militer. Implikasi dari revisi UU TNI 2025 ini sangat luas, tidak hanya pada aspek pertahanan, tetapi juga pada tata kelola pemerintahan, demokrasi, dan ekonomi nasional. Untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertahanan dan prinsip supremasi sipil, diperlukan pengawasan publik yang ketat, mekanisme check and balances yang efektif, serta transparansi dalam pelaksanaan undang-undang. Dialog yang terbuka antara pemerintah, militer, dan masyarakat sipil harus terus dibangun demi memastikan bahwa keterlibatan TNI tetap berjalan sesuai dengan prinsip profesionalisme dan tidak menimbulkan ancaman bagi masa depan demokrasi Indonesia. (*)

Adellia Fahrisyah Wahyudi (2312011464)

https://drive.google.com/drive/folders/1SOm_DCg8RfcpgcU8-HyqRQsLsZsIf1Df